Kontroversi Himbauan Peniadaan Salat Jumat: Sebuah Pertarungan Teks dan Konteks

H.Islamul Haq, Lc., MA
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Parepare

“jangan ada satupun di antara kalian yang salat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah”, sabda Nabi saw. Kenapa urusan shalat sampai ditangguhkan?

Virus Corona (covid-19) masih terus menelan korban, hingga hari ini pemerintah Republik Indonesia telah mengumumkan sebanyak 3512 kasus positif dan 306 korban meninggal (10/04). Pandemik ini menjadi sebuah masalah besar bahkan covid-19 telah mengubah kebiasan beribadah umat Islam. Salat Jumat yang setiap pekan dilaksanankan oleh umat Islam kini ditiadakan, terhitung sudah empat kali salat Jumat ditiadakan sampai saat ini.

Melalui fatwa nomor 14 tahun 2020 Majlis Ulama Indonesia (MUI) meminta umat Islam yang berada di daerah dengan potensi penularan yang cukup tinggi dan tidak terkendali untuk sementara mengganti salat Jumat dengan salat dhuhur di rumah masing-masing karena pelaksanaan salat Jumat dinilai berpotensi besar untuk menyebarkan covid-19. "Umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing," bunyi fatwa yang MUI
Fatwa MUI nomor 14 tahun 2020 menjadi pijakan bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk mengeluarkan himbauan. Hampir semua daerah menerbitkan surat edaran tentang pelaksanaan kegiatan keagamaan di masa covid-19 dengan merujuk kepada fatwa MUI tersebut.
Tidak dapat dipungkiri, akibat pelarangan salat Jumat, muncul pro kontra di tengah-tengah masyarakat, mengingat himbauan pemerintah di beberapa daerah sifatnya menyeluruh meski daerah tersebut masuk dalam zona hijau yang terisolasi dan tidak ada potensi penularan. Pro kontra muncul akibat pemahaman yang berbeda terhadap himbauan tersebut. Sebagian masyarakat terpaku pada teks himbauan pemerintah, sehingga semua kegiatan yang bertetangan dengan himbauan tidak boleh dilaksanakan.  Sementara sebagian lainnya melihat dari sisi konteks, ketika mereka tidak menemukan illat (sebab) dikeluarkannya himbauan, maka mereka menganggap himbauan tersebut tidak relevan untuk diberlakukan di daerah mereka.
Kelompok pertama meyakini bahwa melaksanakan himbauan pemerintah  merupakan bentuk ketaatan kepada “ulul Amr” yang diperintahkan di dalam Islam,  jadi apapun yang diperintahkan oleh “ulul amr” wajib dilaksanakan selama perintah tersebut tidak mengandung maksiat. Kelompok kedua berpandangan bahwa, himbauan pemerintah tidak selamanya berlaku di setiap daerah, katika sebuah daerah tidak ditemukan “illat” dari pelarangan salat Jumat, maka umat Islam yang berada di daerah tersebut tetap wajib untuk melaksanakan salat Jumat . 
Kaidah usul fiqih mengatakan: “al hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa adaman” artinya dalam mewijudkan atau meniadakan hukum tergantung kepada illatnya. Mereka juga berdalih dengan fatwa MUI yang melarang salat Jumat bagi daerah yang penyebaran virusnya tidak terkendali, sementara daerah yang aman dari virus tetap wajib melaksanakan salat Jumat.
Pula, maslahat dan mafsadat secara umum bersifat relatif dan tidak bersifat konstan. Dalam satu daerah kadang mafsadat itu ada akan tetapi tidak ditemukan di daerah lain. maslahat dan mafsadat berkaitan dengan ruang ke ruang, orang per orang waktu ke waktu. Oleh karenanya, bukan sebuah masalah apabila terjadi perbedaan pendapat dalam menanggapi sebuah himbauan mengingat maslahat dan mafsadat mengikuti waktu, tempat, kondisi atau orang per orang. 
Pro kontra seperti ini mengingatkan kita kepada beberapa peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. di antara peristiwa-peristiwa tersebut yaitu ketika Rasulullah saw. mengintruksikan para sahabatnya untuk bergegas menuju ke Bani Quraizhah. Rasulullah saw. bersabda: “jangan ada satupun di antara kalian yang salat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah”. 
Di tengah perjalanan saat memasuki waktu Ashar terjadi perbedaan pendapat di antara sahabat. Sebagian sahabat memahami perintah nabi secara tekstual sehingga mereka tidak melaksanakan salat Ashar. Bahkan dalam riwayat dikatakan bahwa mereka melaksanakan salat Ashar setelah masuk waktu Isya di perkampungan Bani Quraizhah. Sahabat lainnya memahami perintah nabi secara kontekstual, untuk itu mereka tetap melaksanakan salat Ashar meski belum sampai di perkampungan Bani Quraizhah. 
Ungkapan nabi yang meengatakan “jangan ada satupun di antara kalian yang salat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah” dipahami agar mereka bersegera menuju ke perkampungan bani Quraizhah sehingga bisa melaksanakan salat di tempat itu.Ketika Rasulullah saw. mengetahui hal tersebut, beliau tidak mempermasalahkannya, beliau juga tidak menyalahkan salah satu dari dua pendapat tersebut.
Akhirnya, penulis lebih cenderung kepada pendapat yang membedakan kondisi dari penyebaran virus korona. Jika pemegang otoritas mengatakan bahwa kondisi penyebaran virus tidak lagi terkendali di sebuah wilayah dan dapat mengancam jiwa , maka himbauan pelaksanaan salat Jumat bisa diterapkan. Akan tetapi, jika sebuah wilayah aman dari virus korona atau penyebaran virusnya dapat dikendalikan, maka kaum muslim yang berada di daerah tersebut tetap wajib melaksanakan salat Jumat dengan syarat mengikuti langkah-langkah pencegahan penyebaran covid-19.**

0 Comments